TribunNews : Persekongkolan Trias Politika
Maka diduga telah terjadi persekongkolan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif atau trias politika. Betapa tidak?
Pertama, legislatif mewacanakan penundaan Pemilu 2024 supaya jabatan eksekutif dan legislatif diperpanjang. Usulannya hingga 2027. Jika pemilu ditunda, maka jabatan eksekutif dan legislatif otomatis diperpanjang tanpa harus berkeringat dan mengeluarkan banyak uang untuk ikut pemilu.
Kedua, legislatif juga mewacanakan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan dalih untuk mengakomodasi apa yang dulu disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kini disebut dengan istilah Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).
Dengan adanya amandemen UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN, maka amandemen pasal lainnya bisa diselundupkan, terutama Pasal 7 supaya presiden dan wakil presiden bisa menjabat lebih dari dua periode atau lebih dari 10 tahun.
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Ketiga, yudikatif pun tak mau ketinggalan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima agar tahapan pemilu diulang sejak awal. Implikasinya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menunda pelaksanaan Pemilu 2024 yang sesungguhnya sudah dicanangkan untuk digelar pada 14 Februari 2024.
Jika pemilu ditunda, maka sekali lagi hanya dengan ongkang-ongkang kaki jabatan eksekutif dan legislatif otomatis diperpanjang.
Untunglah, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, setelah diwarnai penolakan publik atas isu penundaan pemilu, menganulir putusan PN Jakpus yang kontroversial itu.
Politik Oligarki
Kini, setelah semua upaya itu mendapat penolakan publik,persekongkolan trias politika diduga tak kunjung berhenti.
Apalagi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah di ambang pintu. Eksekutif dan parpol-parpol di DPR diduga membentuk politik oligarki dan berupaya menjegal calon tertentu demi memuluskan capres yang didukung oligarki. Tujuannya, supaya yang terpilih adalah calon yang sanggup melanjutkan program pembangunan rezim yang sedang berkuasa.
Kurang dari satu tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 untuk memilih para pemimpin negara yang akan duduk di eksekutif dan legislatif, merupakan tahun politik yang mempunyai dinamika dan eskalasi politik yang sangat tinggi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan sering terjadi ketidaksesuaian antara janji dan kenyataan, antara “das sollen” dan “das sein”.
Sudah menjadi kondisi yang biasa atau lazim di suatu negara jika penguasa ingin terus melanggengkan kekuasaannya. Ini sesuai dengan hukum Newton I atau hukum kelembaman, di mana setiap benda cenderung mempertahankan kedudukannya. Itu wajar saja.
Karena terbentur dengan masa jabatan yang maksimal hanya dua periode (10 tahun) berdasarkan amanat konstitusi, maka cara lain untuk melanggengkan
kekuasaan adalah dengan menciptakan politik oligarki sebagai penerus penguasa sebelumnya.
Mereka (penguasa) sadar bahwa pemerintahan yang dipimpin dan dikelolanya tidak memperlihatkan suatu prestasi yang baik. Bahkan sebaliknya banyak terjadi hiruk-pikuk dan ingar-bingar yang meresahkan kehidupan
rakyatnya.
Untuk membuat rakyat menjadi percaya kepada penguasa yang lalai tersebut, maka diciptakanlah suatu peristiwa besar yang bersifat nasional yang dapat membuat rakyat berbalik 180 derajat dari
sebelumnya tidak percaya menjadi sangat percaya dan mendukung penguasa yang ada.
Cara-cara yang dilakukan tersebut adalah dengan menciptakan “whistle blower” atau peniup terompet, menicptakan korban kejahatan, menciptakan pelaku tindak kejahatan, menciptakan pembongkar pelaku tindak kejahatan, menegakkan hukum yang terkesan kuat dan adil, dan lain sebagainya.
Hasil survei sejumlah lembaga menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah masih relatif tinggi.
Padahal semua itu merupakan skenario yang dilakukan oleh penguasa, dari penguasa, dan untuk kepentingan penguasa.
Dengan demikan kita bisa simpulkan sendiri apakah kejadian yang menonjol saat ini benar-benar merupakan
kejadian yang sesungguhnya atau hanya sebuah rekayasa dan kamuflase belaka. Silakan menyimpulkannya dengan pikiran masing-masing.
* Dr Anwar Budiman SH MH: Praktisi Hukum/Dosen Hukum Tata Negara Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Leave a Reply